Hak Warga Negara Asing
Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia
A.
Subjek Hak Milik Atas
Tanah
Pada asasnya hak milik hanya dapat
dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijke persoon), baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan
hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan telah
dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.
Menurut hukum agraria yang lama setiap
orang boleh mempunyai dengan hak eigendom, baik ia warga negara maupun warga
asing, baik bukan Indonesia asli maupun bukan Indonesia asli. Bahkan badan
hukum pun berhak mempunyai hak eigendom, baik badan hukum Indonesia maupun
badan hukum asing.
Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA,
menurut pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga negara Indonesia saja dapat
mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa larangan tidak
diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing.
Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan perbedaan antara sesama
warga negara dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang
berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.
Berkewarganeragaan rangkap artinya,
bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain.
Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama seseorang disamping
kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya
dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.
Di dalam penjelasan pasal tersebut
dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan diri disamping
kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan lain dalam hal pemilikan
tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian, maka yang
boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia
tunggal saja. Sekarang kedudukan anak tetap mengikuti kewarganegaraan orang
tuanya, juga setelah ia menjadi dewasa.
Kalau orang tuanya telah melepaskan
kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia. Untuk
menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara pewarganegaraan, atau
naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat kewarganegaraan
Indonesia tunggal, khusu untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan
syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai
maksimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal
1 jo. 6 UU Nomor 56 (Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah
pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).
UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai
larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee atau guntai (Pasal 3 PP
Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964). Kalau syarat yang disebutkan
pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum bagi perorangan untuk
mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib dipenuhi oleh
setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh peraturan-peraturan
Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah
pertanian. Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus
seorang petani.
B.
Hak Milik Atas Tanah Warga
Negara Asing
Meskipun pada asasnya hanya orang-orang
warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memiliki tanah, dalam hal-hal
tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang
asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap untuk
mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar
pertimbangan peri kemanusiaan.
Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa
orang asing yang sesudah tanggal 24 september 1960 memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara Indonesia
yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan
kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun tersebut
dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. Bagaimanakah
ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian seorang Indonesia
yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula
berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat,
S.H.), pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan
pasal 21 ayat 4 UUPA.
Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3
diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang
sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Demikian
penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak diperbolehkan
karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah, dan
pemberian dengan wasiat (legat).
Memperoleh hak milik dengan kedua cara
tersebut diatas masih dimungkinkan bagi orang-orang asing dan warga negara
Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam waktu satu tahun
pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya? Dikatakan dalam
ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus
dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus
dan tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta
kembali tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang
asing hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU,
HGB, atau hak pakai.
0 Response to "Makalah Hukum Agraria "Hak Warga Negara Asing Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia" "
Post a Comment